Indonesia adalah Negara kepulauan yang mempunyai lebih
dari 13.466 pulau dan pantai sepanjang 99.093 km, serta dilalui oleh garis
khatulistiwa.
Untuk itu, transportasi laut atau kegiatan pelayaran sangat
diperlukan dalam menghubungkan pulau-pulau yang ada di Indonesia,
terutama untuk pendistribusian logistik, penjagaan wilayah laut,
penelitian kelautan, dan lain-lain.
Semua kegiatan tersebut sangat bergantung pada kegiatan pelayaran
yang mumpuni agar memaksimalkan pemerataan pembangunan, penjagaan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan memaksimalkan potensi
ekonomi kelautan yang berkisar Rp 15.600 Triliun per tahun.
Kapal sebagai sarana kegiatan pelayaran adalah sebuah alat penting
dalam sistem angkutan laut. Hampir semua barang impor/ekspor ataupun
muatan yang sangat besar di angkut dengan kapal laut. Kapal yang
mempunyai daya kapasitas yang besar mempunyai nilai efisiensi dan
efektifitas yang lebih besar di bandingkan dengan moda transportasi
darat maupun udara. Sebagai contoh, dalam pengangkutan minyak yang
mencapai puluhan/ratusan ribu ton, apabila di angkut dengan truk tangki,
akan memerlukan ribuan kendaraan.
Untuk mendukung sarana angkutan laut tersebut, diperlukan prasarana
berupa pelabuhan. Di pelabuhan, kapal melakukan kegitan seperti
menaikkan dan menurunkan penumpang, bongkar-muat barang, pengisian BBM
dan air tawar, melakukan reparasi, mengadakan perbekalan, dan lain
sebagainya.
Selain itu, pelabuhan juga merupakan suatu pintu gerbang yang dapat
memajukan daerah di belakangnya (hinterland). Daerah belakang ini
mempunyai kepentingan ekonomi, sosial, bahkan pertahanan dengan
pelabuhan tersebut, misalnya Banten, Jakarta, dan makassar. Bahkan,
Indonesia merupakan daerah belakang dari pelabuhan Ibu kota Tanjung
Priok, karena dari Pelabuhan Tanjung Priok pendistribusian barang atau
hasil industri dari daerah belakangnya ke daerah lain, bahkan ke luar
negeri.
Kita dapat melihat Negara tetangga, seperti Singapura, yang mempunyai
fasilitas prasarana pelabuhan lengkap. Bahkan Jerman dengan pelabuhan
di Bremen menjadi pelabuhan dengan sistem logistik nomor 1 di dunia
dapat menjadikan daerah di belakangnya maju.
Indonesia dengan posisi yang strategis dan menjadi jalur pelayaran
Intersional, sistem logistik Indonesia dengan pelabuhan-pelabuhan yang
ada hanya menempati urutan 53 dari 160 Negara dengan persentase 66.7%
pada kategori negara yang memilki pendapatan menengah ke bawah (World
Bank, 2014).
Di pemerintahan Jokowi-JK, dengan program “Poros Maritim Dunia” dan
“Tol Laut”, manajemen pengolahan pelabuhan yang ada mulai dibenah,
seperti Kementrian Perhubungan yang sedang menggodok beberapa pelabuhan
Perintis (Feeder Port) untuk di berikan kepada BUMN (PELINDO 1-4) dalam
hal pengelolahan manajemennya. Agar pelabuhan-pelabuhan tersebut dapat
lebih maju dan mandiri.
Pembenahan ini juga perlu diiringi dengan peningkatan Kualitas SDM
dari level operasional hingga manajemen, menciptakan sistem transportasi
yang terintegrasi antara manajemen, dan pengaturan jaringan
multimoda/antarmoda. Tol laut yang direncanakan pemerintahan saat ini
mempunyai misi untuk menghubungkan Indonesia dengan jalur laut agar
distribusi logistik dan pemerataan pembangunan di pelosok sekalipun
yang mengharuskan proses pelayanan yang cepat di pelabuhan sebagai
prasarananya. Tentunya harus didukung dengan penambahan kapasitas serta
fasilitas pelabuhan yang modern, misalnya dengan panjang dermaga, luas
gudang, peralatan bongkar muat canggih yang memiliki utilitas tinggi,
terminal BBM untuk kapal, alur pelayaran, fasilitas kapal pandu, dan
lain-lain, yang tentunya dapa memberikan pelayanan jasa tambat yang
prima dan cepat kepada kapal sehinngga tidak akan ada lagi antrian
panjang untuk melakukan proses bongkar ataupun keluar masuk pelabuhan
muat akibat kurangnya fasilitas pelabuhan.
Makbul Muhammad ST. Direktur Maritime Research Institute (MARIN Nusantara) dan alumnus Teknik Perkapalan Universitas Hasanuddin