PT.
Jakarta International Container Terminal (JICT) merupakan perusahaan afiliasi
yang didirikan pada tahun 1999. Saham mayoritas
JICT dimiliki Hutchison Port Holding Group (HPH Group) perusahaan asal Cina sebesar 51% serta 48,9%
saham dimiliki Perseroan dan 0,1% saham dimiliki Koperasi Pegawai Maritim
(Kopegmar).
Sebagai
terminal peti kemas terbesar dan tersibuk serta menjadi pintu utama masuk/keluarnya barang dari dan ke Indonesia, Menjadikan JICT sebagai urat nadi dan
proto type program Tol Laut Jokowi-JK yang
menghubungkan pelabuhan di indonesia barat, tengah, timur dan internasional. Maka
sikap jokowi dalam kasus
Pelindo 2 bisa menjadi langka awal dalam menempatkan negara segara pelaksana
hilir ekonomi nasional,sesuai dengan komitmen Nawa Cita poin ke tujuh “Mewujudkan
kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”.
Namun beberapa waktu terakhir ini,
para pekerja yang tergabung dalam SP
(SerikatPekerja) JICT bersitegang dengan
RJ Lino sebagai Komisaris Utama
PT Pelindo 2, selisih pendapat yang
disertai pemogokan kerja ini dikarenakan persoalan pemecatan
2 anggota SP JIPC yang menolak kesepakatan Pelindo
2 dengan HPH Group untuk melanjutkan konsesi yang
akan habis pada tahun
2019
ini.
Aksi SP JICT
ini memiliki alasan
yang kuat dikarenakan nilai konsesi
yang lebih kecil dibandingkan saat pertama
HPH Group masuk pada tahun
1998 tercatat sebesar 243 juta US Dollar, sedangkan nilai konsesi
yang akan disepakati RJ lino hanya sebesar
200 juta US Dollar. Kemudian diperkuat dengan surat
yang disampaikan Mentri Perhubungan,
Ignasius Jonan kepada mentri
BUMN, RiniSoemarno dengan nomor surat“AI.107/1/5 Phb”tertanggal 25 Juni agar
pelabuhan yang akan masa habis konsesinya tidak lagi bekerja sama dengan asing.
Menurut kami, sikap yang dilakukan dirut Pelindo
2
dapat menginterupsi
citra program Tol Laut dan
program Nawacita Jokowi. Jelas karena yang
ngotot untuk memperpanjang konsesi
JICT kepada HPH Group sudah menyalahiaturan
main yang telah di atur UU no.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dimana terdapat pemecahan antara fungsi
regulator dan operator. Pelindo II sebagai BUMN operator dinilai tidak punya hak untuk melakukan perpanjangan konsesi dikarenakan hal tersebut merupakan
domain dari otoritas pelabuhan
yang berada di bawah Kementrian Perhubungan.
Dalam tender
hak pengelolahan JICT oleh pihak Pelindo II disinyalir
bahwa tender tidak dilakukan secara terbuka melainkan dengan penunjukan langsung. Apabila kembali kebelakang,
maneuver semacam ini pernah dilakuakan saat pemerintahan sebelumnya dan berhasil membuat sepakat presiden SBY dan Menteri
BUMN saat itu Dahlan Iskan dalam pembangunan
Terminal Kalibaru. Saat itu
RJ Lino mampu menyakinkan Presiden
SBY dan menghentikan proses tender yang dilakukan oleh kementrian perhubungan dalam pembangunan
terminal Kali baru dan melakukan penunjukan langsung dan memberikan free
pass kepada Mitsui dengan alasan bahwa pelabuhan Tanjung Priok sudah tidak mampu lagi menampung pertumbuhan arus barang,
yang nantinya akan menyebkan kongesti dan mengganggu perekonomian nasional apabiala
proses pembangunan tidak segera dilaksanakan.
Akhirnya keluarlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 tahun 2012
menugaskan Pelindo II untuk menyelesaikan pembangunan dan mulai mengoperasikan Terminal Kalibaru Pelabuhan Tanjung Priok pada Tahun 2014. Kenyataannya kongesti tidak terjadi dan PT Pelindo II tidak berhasil menyelesaikan pembangunan tepat waktu sesuai amanat Perpres, bahkan sampai saat ini Terminal Kalibaru belum beroperasi.
Kemudian dalam rencana pengoperasian
Terminal kalibaru PT. Pelindo
II menggandeng Port Singapore Authority (PSA) sehingga suatu hal
yang tidak mungkin terjadi untuk menyaingi Singapura dalam pelayanan pelabuhan kedepannya.
Pelabuhan yang dikembangkan melalui progam
tol laut merupakan pelaksana ekonomi hilir indonesia yang sejatinya harus di
operasikan oleh negara dan bukan malah diberikan oleh perusahaan asing untuk
mengoprasikan hilir ekonomi di pelabuahn. Tentu manuver ekstrim dalam bentuk ambisi untuk tetap
memperpanjang perjanjian PT. Jakarta Internasional Contener Terminal yang dilakuakan Dirut Pelindo
II, kami nilai sangat mengancam suksesnya Tol Laut
dan menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
Saat
ini DPR RI telah menginisiasi untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam
terhadap kasus Pelindo II ini dalam bentuk Panitia Khusus (PANSUS), semoga
pansus DPR tidak seperti Pansus-Pansus sebelumnya yang seolah mengambang,
tetapi pembentukan Pansus ini kami harapkan bisa menghasilkan titik terang yang
mengedepankan kepentingan bangsa. Aminnn .
Penulis
Efraim Rampon ST.
Wakil Direktur Maritime Research Institue (MARIN
Nusantara)
Alumni Teknik Perkapalan Universitas hasanuddin