Selasa, 13 Oktober 2015

Program Tol Laut (Bisa) Terinterupsi Oleh Carut Marut Pelindo II (JICT)



 PT. Jakarta International Container Terminal (JICT) merupakan perusahaan afiliasi yang didirikan pada tahun 1999. Saham mayoritas JICT dimiliki Hutchison Port Holding Group (HPH Group) perusahaan asal Cina sebesar 51% serta 48,9% saham dimiliki Perseroan dan 0,1% saham dimiliki Koperasi Pegawai Maritim (Kopegmar).

            Sebagai terminal peti kemas terbesar dan tersibuk serta menjadi pintu utama masuk/keluarnya barang dari dan ke  Indonesia, Menjadikan JICT sebagai urat nadi dan proto type program Tol Laut Jokowi-JK yang menghubungkan pelabuhan di indonesia barat, tengah, timur dan internasional. Maka sikap jokowi dalam kasus Pelindo 2 bisa menjadi langka awal dalam menempatkan negara segara pelaksana hilir ekonomi nasional,sesuai dengan komitmen Nawa Cita poin ke tujuh “Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik”.

Namun beberapa waktu terakhir ini, para pekerja yang tergabung dalam SP (SerikatPekerja) JICT bersitegang dengan RJ Lino sebagai Komisaris Utama PT Pelindo 2, selisih pendapat yang disertai pemogokan kerja ini dikarenakan persoalan pemecatan 2 anggota SP JIPC yang menolak kesepakatan Pelindo 2 dengan HPH Group untuk melanjutkan konsesi yang akan habis pada tahun 2019 ini.

            Aksi SP JICT ini memiliki alasan yang kuat dikarenakan nilai konsesi yang lebih kecil dibandingkan saat pertama HPH Group masuk pada tahun 1998 tercatat sebesar 243 juta US Dollar, sedangkan nilai konsesi yang akan disepakati RJ lino hanya sebesar 200 juta US Dollar. Kemudian diperkuat dengan surat yang disampaikan Mentri Perhubungan, Ignasius Jonan kepada mentri BUMN, RiniSoemarno dengan nomor surat“AI.107/1/5 Phb”tertanggal 25 Juni agar pelabuhan yang akan masa habis konsesinya tidak lagi bekerja sama dengan asing.

            Menurut kami, sikap yang dilakukan dirut Pelindo 2 dapat menginterupsi citra program Tol Laut dan program Nawacita Jokowi. Jelas karena yang ngotot untuk memperpanjang konsesi JICT kepada HPH Group sudah menyalahiaturan main yang telah di atur UU no.17 Tahun 2008 tentang Pelayaran dimana terdapat pemecahan antara fungsi regulator dan operator. Pelindo II sebagai BUMN operator dinilai tidak punya hak untuk melakukan perpanjangan konsesi dikarenakan hal tersebut merupakan domain dari otoritas pelabuhan yang berada di bawah Kementrian Perhubungan.

            Dalam tender hak pengelolahan JICT oleh pihak Pelindo II disinyalir bahwa tender tidak dilakukan secara terbuka melainkan dengan penunjukan langsung. Apabila kembali kebelakang, maneuver semacam ini pernah dilakuakan saat pemerintahan sebelumnya dan berhasil membuat sepakat presiden SBY dan Menteri BUMN saat itu Dahlan Iskan dalam pembangunan Terminal Kalibaru. Saat itu RJ Lino mampu menyakinkan Presiden SBY dan menghentikan proses tender yang dilakukan oleh kementrian perhubungan dalam pembangunan terminal Kali baru dan melakukan penunjukan langsung dan memberikan free pass kepada Mitsui dengan alasan bahwa pelabuhan Tanjung Priok sudah tidak mampu lagi menampung pertumbuhan arus barang, yang nantinya akan menyebkan kongesti dan mengganggu perekonomian nasional apabiala proses pembangunan tidak segera dilaksanakan. Akhirnya keluarlah Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 36 tahun 2012 menugaskan Pelindo II untuk menyelesaikan pembangunan dan mulai mengoperasikan Terminal Kalibaru Pelabuhan Tanjung Priok pada Tahun 2014. Kenyataannya kongesti tidak terjadi dan PT Pelindo II tidak berhasil menyelesaikan pembangunan tepat waktu sesuai amanat Perpres, bahkan sampai saat ini Terminal Kalibaru belum beroperasi.

            Kemudian dalam rencana pengoperasian Terminal kalibaru  PT. Pelindo II menggandeng Port Singapore Authority (PSA) sehingga suatu hal yang tidak mungkin terjadi untuk menyaingi Singapura dalam pelayanan pelabuhan kedepannya.

            Pelabuhan yang dikembangkan melalui progam tol laut merupakan pelaksana ekonomi hilir indonesia yang sejatinya harus di operasikan oleh negara dan bukan malah diberikan oleh perusahaan asing untuk mengoprasikan hilir ekonomi di pelabuahn. Tentu manuver ekstrim dalam bentuk ambisi untuk tetap memperpanjang perjanjian PT. Jakarta Internasional Contener Terminal yang dilakuakan Dirut Pelindo II, kami nilai sangat mengancam suksesnya Tol Laut dan menjadikan Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia.
           
            Saat ini DPR RI telah menginisiasi untuk melakukan penyelidikan lebih mendalam terhadap kasus Pelindo II ini dalam bentuk Panitia Khusus (PANSUS), semoga pansus DPR tidak seperti Pansus-Pansus sebelumnya yang seolah mengambang, tetapi pembentukan Pansus ini kami harapkan bisa menghasilkan titik terang yang mengedepankan kepentingan bangsa. Aminnn .

Penulis
Efraim Rampon  ST.
Wakil Direktur Maritime Research Institue (MARIN Nusantara)
Alumni Teknik Perkapalan Universitas hasanuddin